KEPADA KALIAN RINDUKU BERMUARA - CERPEN

Kupandangi danau yang ada di depanku, danau yang hampir empat tahun belakangan ini sering menemaniku saat aku merasakan kebosanan dan kepenatan otakku dalam menjalani kehidupan dan segudang aktifitas harianku di kampus. Kulihat dia begitu berbeda hari ini, airnya yang lebih jernih dari biasanya juga ikan yang tampak lebih riang bermain bersama kawanan mereka.

Aku, Kaneisya Senja, mahasiswi jurusan kedokteran tingkat akhir yang sebentar lagi akan diwisuda dengan predikat Cum Laude. Aku adalah mahasiswi termuda di fakultas kedokteran di kampus ini, dibandingkan dengan teman teman seangkatanku. Bagaimana tidak, di sekolah menengah atas aku masuk kelas akselerasi, karenanya aku hanya menempuh pendidikan selama dua tahun saja disana, selain itu aku yang dikenal sebagai anak yang cerdas oleh orang tuaku, mulai mengenyam pendidikan diusia lebih dini dibandingkan dengan kedua kakak kembarku, Kelana Langit dan Kembara Birru.

Hari ini aku sangat merindukan mereka, rindu yang teramat sangat dengan suara tawa dan segala kebahagiaan kami saat berkumpul bersama. Rindu dengan pelukan hangat dan bingkisan bingkisan kecil yang mereka belikan untukku saat pulang dari sekolah. Rindu dengan perasaan yang selalu merasa punya dua bodyguard yang selalu siap menjaga dan menemaniku kala aku membutuhkannya. Rindu yang tak akan pernah berujung.

***


“ Mas Lanaaaa, tunggu aku dong..capek nih!” seruku pada kakak kembar pertamaku. Hari ini kami berempat sedang berpetualang, menaiki bukit dan menuruni lembah yang ada di kota tempat kami tinggal, ini adalah pengalaman pertamaku mengikuti hobi ayah dan kedua kakak kembarku.

Mas Lana berhenti dan mengulurkan tangannya untuk menggandeng kemudian menggendongku di punggungnya. Mas Bara dan Ayah masih berjalan dibelakang kami beberapa meter, mereka membawa tas punggung masing masing. Ayah membawa peralatan berkemah kami sedangkan mas Bara membawa tas berisi bekal makanan. Tugas mas Lana adalah mendampingi dan menjaga aku. Ya, hari ini kami berencana untuk camping di bukit yang terletak di pinggiran sebuah desa. Ayah mengajak kami ke tempat ini ditengah kesibukannya bekerja dan masa liburan sekolah kami. Kedua kakakku sekolah di sebuah sekolah dasar swasta favorit di kota kami, sedangkan aku sendiri masih TK saat ini. Usiaku dengan mas Lana dan mas Bara terkait 6 tahunan. Bundaku?, beliau sedang berada di Rumah Sakit menunggu Mbah Ibu kami yang sedang sakit, bersama Mbah Bapak.

Aku berada dalam gendongan mas Lana hanya beberapa saat saja, karena tentu dia juga akan cepat merasa capek karena medan mendaki yang kami lalui saat ini.

“Kita istirahat dulu disini saja, mumpung ada tempat yang nyaman” kata Ayah “Wah..lihat! Dari sini kita bisa melihat pemandangan indah!” seru mas Bara sambil menunjuk perkampungan dan jalanan meliuk liuk yang dilewati banyak kendaraan di bawah sana. Aku berjingkrak kegirangan, karena memang baru kali ini aku bisa melihat pemandangan seperti itu dari atas bukit seperti ini.

“Ayah, tempat kita berkemah tidak jauh lagi kan yah?!” tanya mas Lana pada Ayah, “Iya, kita hanya tinggal melewati dua belokan lagi. Setelah itu kita akan ketemu tanah datar yang cukup lapang untuk mendirikan tenda dan menyalakan api unggun nanti malam.” Terang Ayah.

“Yeayy..aku suka api unggun!”, sorakku kegirangan. Aku sudah membayangkan Ayah akan memainkan gitarnya, kedua kakakku sibuk dengan makanan bakarnya sedangkan aku bernyanyi lagu yang telah Bu Guru ajarkan di sekolah. Tak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju tempat yang Ayah gambarkan.

Tenda telah berdiri, tengah haripun telah terlewat, matahari mulai condong ke barat saat ayah terlihat sedang ngobrol dengan seorang laki laki paruh baya yang nampak seperti penduduk setempat, aku tidak tau siapa. Mas Lana dan Mas Bara sedang mengumpulkan ranting pohon yang ada disekitar tenda kami, sedangkan aku hanya bermain main saja mengumpulkan bunga bunga kecil yang aku temui disekitar kami. Sambil sesekali kami bertiga bercanda dan saling menggodai satu sama lain. Aku selalu merasa bahagia bersama mereka, kami saling menyayangi, tidak hanya kedua orang tuaku, kedua kakak kembarku pun sering memanjakanku. Pulang sekolah mereka sering membawakanku hadiah hadiah kecil berupa jajan atau mainan yang mereka beli di sekolah,aku selalu merasa senang dan tak jarang aku penasaran kira kira apa yang mereka bawa untukku hari ini nanti. Sering pula keesokan harinya dengan ceria aku menceritakan hadiah apa yang mereka bawa kemarin untukku kepada teman teman dan guruku di sekolah.

Ayah kembali ketenda kami dengan membawa beberapa kayu bakar, ketela pohon dan entah apa lagi yang terbungkus di plastik hitam itu. Mas Lana berlari menghampiri Ayah, “Wah..Ayah dapat itu dari mana?” ucapnya terlihat senang.

“Tadi Ayah ngobrol dengan penduduk sini, ternyata rumahnya itu yang terlihat dari sini” kata Ayah sambil menunjuk rumah yang dimaksud, “Sebenarnya Ayah hanya bermaksud memberitahukan dan mohon ijin saja kepada mereka kalo kita malam ini mau berkemah disini, eh..ternyata ujung ujungnya dia ngajak Ayah kerumahnya, Ayah diberi ini, katanya biar nambah gayeng”.

“Gayeng itu apa, Yah?” tanyaku.

“Biar lebih asik, lebih menyenangkan, Sayang..” jawab Ayah

“Iya, kayak Dek Neisya yang udah dapet permen loly pop dari mas Lana, dapet juga tali rambut boneka dari mas Bara, menyenangkan kan?” celetuk Mas Bara

“Bukan..bukan gitu, Bara.., gayeng itu seru, hangat, menyenangkan, mengasyikkan. Jadi maksudnya acara kita nanti malam biar lebih seru dengan adanya tambahan ketela yang dibakar juga bareng sm jagung yang sudah kita bawa” penjelasan Ayah sepertinya cukup bisa dimengerti oleh kedua kakakku, tapi belum untukku.

“Neisya ga mau bakar ketela biar gayeng, Neisya maunya nyanyi sama sama aja” protesku.

“Iya, Sayang..nanti kita bikin api unggun, bakar ketela, bakar jagung, bakar ikannya sambil nyanyi ya..” kata Ayah yang membuatku merasa senang.

Dan benar saja ketika malam datang, setelah mengolah makanan untuk makan malam, kami mulai menyalakan api unggun. Selain sebagai penerang dan penghangat, ternyata api unggun semakin membuat malam kami menjadi lebih menyenangkan, kami bernyayi bersama, bercanda,saling bercerita, tak lupa sambil menyantap bekal makanan yang kami bawa dari rumah juga ketela dan bahan makanan lain yang telah dibakar, hmm..jadi seperti ini yang Ayah maksud dengan gayeng, pikirku. Sayangnya, Bunda tidak bersama kami malam ini, mendadak aku jadi merasa kangen sama Bunda.

***


Angin yang tadinya sepoi sepoi mendadak terasa lebih kencang, berhembus dari danau menerpa ujung jilbab di dahiku, membuyarkan lamunanku tentang petualangan pertamaku dulu. Mengenang kejadian waktu itu, dadaku terasa sesak. Seandainya sekarang aku sedang berada diantara mereka semua, pasti semakin lengkap kebahagiaan yang aku rasakan saat ini.

“Mas Lana..Mas Bara..Neisya kangen kita sama sama lagi kayak dulu” gumamku lirih seorang diri.

Bulan depan aku diwisuda, Ayah dan Bunda berjanji akan datang. Aku berharap mereka merasa bangga dengan apa yang aku capai saat ini. Terima Kasih, Mas..selain karena kedua orang tua kita, berkat kalian juga sekarang aku bisa seperti ini, kasih sayang yang tak pernah putus, bimbingan dalam belajar dan kesabaran kalian yang selalu menenangkan kerewelanku saat kita masih sama sama dulu, iya..dulu, karena sekarang tidak lagi.

***


“Assalamu’alaikum. Dek Neisya..! coba tebak, mas Bara dan Mas Lana bawa apa hari ini?” Terdengar suara Mas Bara dari depan rumah, mereka baru saja sampai dari sekolah.

“Wa’alaikumsalam..” sahutku berbarengan dengan Bunda.

“Apa mas? Neisya dibeliin apa?” hamburku penasaran ke arah mereka.

“Coba tebak dulu dong..” goda Mas Lana gak mau kalah.

“Mmm..permen ya? mainan?” aku coba menebak

”Bukaaan..” jawab mereka bersamaan

“Apa dong? Sini, kasih langsung aja mas..” rengekku berharap mereka tak lagi memintaku menebak.

“Mas Lana..Mas Bara..ganti baju dulu, cuci tangan, cuci kaki” perintah Bunda.

“Gak bisa Bunda..ini kudu cepet cepet, nanti keburu mencair” kata Mas Bara.

“Sssstt..jangan bilang gitu, nanti Dek Neisya tau yang kita bawa apaan” sahut mas Lana sambil buru buru menutup mulut Mas Bara.

“Hah mencair?? Aku tau, es krim ya!” teriakku kegirangan karena merasa bisa menebak apa yang dari tadi mereka sembunyikan dalam kantung plastik yang Mas Bara bawa.

“Aahh..gara gara Bara nih” gerutu mas Lana disahut dengan tawa kami bersama sama.

Hampir setiap hari ada saja kejutan kejutan kecil yang mereka bawa untukku saat pulang sekolah, dan itu membuatku selalu semangat menunggu kedatangan mereka dirumah.

Kebiasaan itu masih sering mereka lakukan sampai mereka menginjak sekolah menengah atas.

Usai menikmati es krim bersama, kami sempatkan bermain sebentar sebelum waktu mandi sore tiba. Mas Bara membuat pesawat telepon dari dua kaleng bekas yang dihubungkan dengan menggunakan benang, katanya melalui dua kaleng itu kita bisa mendengarkan suara seseorang yang berbicara dikaleng satunya, begitu juga sebaliknya, asal benang yang menghubungkan kedua kaleng itu tertarik dan tidak menyentuh benda lain. Mas Lana juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, bunyi atau suara bisa merambat melalui 3 benda, benda padat, benda cair dan benda gas, tak lupa dia juga memberikan contoh masing masing benda yang dimaksud. Aku mendengarkan dan coba mencerna penjelasan mereka, walaupun banyak yang belum aku mengerti tapi aku selalu senang jika mereka mengajari aku tentang banyak hal sambil bermain seperti ini.

Setelah pesawat telepon itu jadi, mereka mencoba mempraktikkan apa yang mereka jelaskan tadi padaku. Aku bersorak gembira saat giliranku tiba dan aku benar benar bisa mendengar suara bisikan mereka dari kaleng yang aku pegang, kami bergantian saling berbicara dan mendengarkan.

“Hari ini tadi Mas Bara dan Mas Lana belajar tentang ini di sekolah” kata Mas Bara kepadaku.

***


Siang ini, usai aku diwisuda tanda kelulusanku dari Sekolah Dasar, Mas Lana dan Mas Bara berjanji akan memberikan hadiah kelulusan untukku, hadiah spesial katanya. Selain karena lulus, aku juga dinyatakan sebagai salah satu siswa berprestasi non akademik dan lulusan dengan nilai terbaik di sekolahku tahun ini. Ayah dan Bunda terlihat bahagia dan terharu saat namaku disebut dan mereka diminta ke atas panggung untuk menemaniku menerima penghargaan dari Kepala Sekolah.

Malam ini kami berencana memenuhi undangan Mbah Bapak dan Mbah Ibu untuk makan malam di rumah beliau. Mbah Ibu masak spesial untuk kami, kata Mbah Bapak kepada Bunda melalui Handphone. Tak lama setelah itu kami pulang. Sesampainya di rumah aku tak sabar menunggu kedua kakak kembarku, aku penasaran kira kira mereka memberi hadiah apa untuk kelulusanku kali ini.

Hari sudah beranjak sore saat HP Ayah berbunyi, “Assalamu”alaikum..” sapa Ayah pada seseorang di seberang sana. Aku asyik nonton serial TV kesukaanku, tak lagi menyimak apa yang Ayah bicarakan, yang aku tahu tiba tiba Ayah dan Bunda mengajakku pergi ke suatu tempat. Aku hanya menurut saja tanpa banyak bertanya, “Kita mau kemana Bunda? Kenapa Bunda menangis?” tanyaku tak tahu apa yang terjadi. Bunda tidak menjawab, kulihat Ayah tampak pucat sambil mengemudikan mobil lebih kencang dari biasanya. Melihat mereka seperti ini, aku tak bertanya lagi, kusimpan rasa keingintahuanku sendiri. Sampai pada akhirnya mobil kami memasuki pintu gerbang sebuah bangunan yang dari sini bisa aku lihat tulisan “RUMAH SAKIT”.

Kami buru buru masuk ke sebuah ruangan, setengah berlari, kami disambut oleh seorang Polisi yang ternyata adalah teman Ayah waktu sekolah dulu. Dari sini baru aku tahu bahwa Mas Lana dan Mas Bara mengalami kecelakaan beruntun saat perjalanan pulang. Badan ini tak lagi mampu berdiri rasanya mendengar penjelasan seorang Polisi teman Ayah itu, aku hanya menangis dan memeluk erat tubuh Bunda yang terduduk lemas di sebuah kursi. Kedua Kakakku terbaring tak sadarkan diri di ruang IGD ditangani oleh beberapa dokter dan perawat sambil menunggu persetujuan Ayah untuk mengambil tindakan operasi yang harus segera dilakukan pada Mas Bara. Sedangkan Mas Lana dibawa ke ruangan ICU, luka mereka cukup parah, itu yang aku tahu.

Entah kesedihan seperti apa yang aku rasakan sekarang, sepertinya baru kali ini aku merasakan kesedihan yang sangat. Aku takut kehilangan mereka, rasanya membayangkan saja aku tak sanggup. Aku hanya bisa menangisi kondisi mereka. Aku tak menginginkan hadiah apapun untuk kelulusanku hari ini selain kesembuhan mereka.

“Neisya sayang..” ucap Mbah Ibu sambil memelukku, “Mas Lana meninggal, Nak..”. Aku tak percaya beliau mengatakan itu padaku, hatiku hancur, aku menangis sejadi jadinya. Kemarin malam setelah Mbah Ibu dan Mbah Bapak menyusul kami di Rumah Sakit, mereka membujukku dengan berbagai alasan agar aku tak tinggal di Rumah Sakit, mau diajak pulang kerumah mereka. Satu yang membuatku akhirnya mau pulang adalah ucapan Bunda, “Sayang..doakan kakakmu, Neisya bisa berdoa lebih khusuk kalo di rumah, Neisya bisa minta sama Allah untuk kesembuhan kakak kapanpun Neisya mau. Tidak disini Nak, biar Ayah dan Bunda yang disini, tugas Neisya sekarang adalah berdoa dengan khusuk”.

Aku masih larut dalam kesedihan, dua hari kemudian saat aku tertidur di sofa ruang tengah Mbah Ibu, sayup sayup kudengar Mbah Ibu menangis, bersama Mbah Bapak. Aku menghampiri mereka, menanyakan kenapa mereka menangis.Tak ada jawaban pasti karena sebab apa, mereka hanya mengajakku untuk pulang ke rumah. Perasaanku tak enak, sepanjang perjalanan aku hanya menyimpan rasa ini dalam diam, tak berani menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Sesampainya di rumah aku baru menyadari bahwa Mas Bara meninggal, menyusul Mas Lana, setelah kulihat ada mobil Ambulance terparkir di depan rumah dan sebuah keranda dikeluarkan dari dalamnya. Aku terduduk lemas dipelataran rumahku, aku menjerit menangis di pelukan Mbah Ibu. Mas Bara..kenapa kamu juga tega meninggalkan aku sendirian? Mas Lana..dengan siapa lagi aku bermain? siapa lagi yang akan membuatku tertawa setiap hari? Tak ada lagi yang akan aku tunggu kepulangannya setiap hari, tak ada lagi kejutan kejutan manis untukku. Mas..mulai sekarang aku tak mau hadiah apapun lagi selain tawa dan keberadaan kalian setiap hari bersamaku. Aku masih saja terus menangis, tak peduli suara banyak orang yang datang ke rumah untuk takziah dan menyempatkan diri menghiburku sampai jenasah Mas Bara dimakamkan disamping Mas Lana.

***


Air mataku menetes membasahi jilbab yang aku kenakan, rasa rindu tentang keindahan hari hariku dulu bersama Mas Lana dan Mas Bara benar benar menguasai hati dan pikiranku. Rasanya ingin kuulang kembali masa itu, masa kecil yang sangat menyenangkan, dimana hanya ada tawa dan kebahagiaan kami meskipun juga tak jarang kami berselisih. Sayup sayup kudengar suara adzan dari masjid kampus. Kujawab lantunan adzan sampai selesai, lalu kudoakan mereka agar Allah mengampuni dosa dan menerima amal kebaikan mereka semasa hidup, mempertemukan kami kembali bersama dengan Ayah dan Bunda di Syurga-Nya, bersama Mbah Ibu juga Mbah Bapak yang telah berpulang. Setelahnya aku beranjak dari tepi danau menuju masjid kampus untuk melaksanakan shalat jamaah bersama teman temanku.

-SELESAI-


Presented by Wahyu Handayani

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

0 comments:

Posting Komentar